Upaya Bangsa dalam Memperkuat Negara
Oleh Fathoni Ahmad
Keselarasan
atau harmoni Negara Republik Indonesia yang telah tercipta selama
beberapa dasawarsa oleh instrumen bernama Pancasila tetap saja mendapat
rongrongan dari beberapa kelompok. Untuk melegitimasi gerakannya, mereka
bahkan menenteng panji agama Islam sehingga seolah mampu mengobarkan
militansi semua dari diri seseorang.
Terkait
hal ini, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sering menekankan, pada
hakikatnya mental intoleran ada pada setiap manusia. Sikap ini akan
meledak-ledak ketika mendapat sedikit percikan api untuk melakukan
rongrongan terhadap dasar negara sehingga pemahaman anti-Pancasila
menyeruak. Mereka menilai bahwa sudah semestinya sebagai negara
mayoritas muslim, dasar negara yang harus diterapkan juga harus
berdasarkan syariat Islam.
Di titik inilah
mereka memahami Islam secara simbolik yang harus bertengger menjadi
formalisasi agama dalam sistem negara. Padahal Gus Dur sendiri
menyampaikan bahwa Islam tak perlu dikerek menjadi bendera. Dalam
konteks bangsa Indonesia yang plural, tentu arogansi sebagian kelompok
Islam yang ngotot dengan
khilafah akan membuat bangsa Indonesia tercerai berai. Apalagi kelompok
tersebut tak segan-segan menghabisi nyawa manusia jika tak sepaham
dengannya. Inilah yang disebut radikalisme berbaju agama sehingga muncul
tindakan terorisme. Padahal terorisme sendiri tidak mempunyai agama.
Artinya, agama dan keyakainan mana pun tidak mengajarkan kekerasan,
apalagi membunuh sesama manusia.
Fakta tersebut
menunjukkan bahwa konsep negara di kalangan kaum muslimin masih belum
mendapat kesepakatan. Setidaknya kaum muslim harus menyadari dan
meletakkan agama Islam sebagai ruh kehidupan bangsa dan negara. Bukan
sebaliknya, agama berusaha diformalisasikan ke dalam sistem negara.
Apalagi di negara yang majemuk seperti bangsa Indonesia. Belajar dari
Gus Dur, seluruh bangsa hanya perlu berempati dan mempunyai rasa
toleransi tinggi untuk mewujudkan persatuan sehingga dapat memperkuat
negara.
Menurut Gus Dur, hal ini berimplikasi
pada kesadaran bela negara yang muncul dari sebagian elemen bangsa,
seperti Gerakan Santri Bela Negara dan gerakan serupa yang akan digelar
di Pekalongan, Jawa Tengah pada 27-29 Juli 2016 mendatang. Namun Gus Dur
(1991) menekankan bahwa konsep bela negara jangan serta merta dipahami
sebagai perjuangan fisik karena selama ini kewajiban bela negara selalu
ditekankan sebagai kewajiban kemiliteran sehingga warga negara harus
mengikuti wajib militer.
Terminologi bela
negara di beberapa negara juga diartikan sebagai bela diri. Namun
demikian, seperti yang dijelaskan Gus Dur di atas, kewajiban bela negara
sebagaimana tentara Jepang dikatakan sebagai self defend force
(kekuatan bela diri Jepang). Jadi jangan dikira memakai pedang, toya,
main karate, dan sebagainya. Tetapi bela diri modern menggunakan kapal
laut, kapal terbang yang mutakhir, dan senjata berteknologi modern.
Begitu juga dengan bela diri di Israel for self defend forces,
kekuatan bela diri Israel. Konsep ini di tempat-tempat lain masih
berarti yang sangat sempit, yaitu menyatakan kesanggupan untuk membela
secara fisik dan militer tiap ancaman, serangan dari luar, atau bahkan
ketika menyerang keluar (Gus Dur, 1991).
Paradigma
ini agaknya tertanam pada diri sebuah kelompok yang kini mengangkat
senjata, menginvasi, hingga membunuh orang lain untuk sebuah jargon
negara Islam, contoh ISIS (Islamic State in Iraq and Sham).
Dengan alasan rindu kejayaan kekhalifahan Islam masa lalu, mereka
merasa perlu bahkan harus mendirikan negara khilafah Islam agar agama
mayoritas penduduk dunia ini kembali menemukan kejayaannya. Padahal
junjungan umat muslim, Muhammad SAW tidak pernah secarik kalimat pun
mendeklarasikan negara Islam. Bahkan yang Ia dirikan adalah negara
Madinah dengan dasar Piagam Madinah. Undang-undang negara ini poin
pentingnya adalah setiap bangsa, kelompok agama, suku, dan lain-lain
harus mengedapankan toleransi satu sama lain demi memperkuat negara dan
mewujudkan harmonisasi antarbangsa.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) beberapa langkah lebih maju karena
memahami bela negara maupun bela diri secara luas, tidak sempit.
Artinya, kewajiban membela negara diekspresikan dan diartikulasikan
dengan saling berempati, memperkuat wawasan kebangsaan, menjaga dan
melestarikan tradisi, adat maupun budaya lokal sebagai modal identitas
bangsa, serta meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara yang sama sekali
tidak bertentangan dengan Islam, bahkan ia mampu memperkuat nilai-nilai
keislaman sehingga para ulama Indonesia, khususnya pesantren menilai
bahwa mengamalkan Pancasila senilai dengan menjalankan syariat Islam.
Inilah yang disebut pemahaman Islam substantif, bukan paham Islam
simbolik yang ingin memformalisasikan agama ke dalam sistem negara.
Meskipun mampu mengejawantahkan konsep bela negara secara luas, tetapi bangsa Indonesia tak segan-segan mengangkat senjata demi kewajiban membela negara dari rongrongan penjajah seperti yang dilakukan para kiai dan santri dalam pertempuran di Surabaya tahun 1947 untuk mengusir kolonialisme. Oleh sebab itu, tantangan bangsa Indonesia untuk memperkuat negara menjadi krusial ketika rongrongan terhadap negara telah dibungkus dalam baju agama sebagai bentuk kolonialisme modern.
Dalam
hal ini, Gus Dur (1991) memberikan penjelasan substantif apa yang telah
dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang didirikan para
kiai pesantren dengan konsistensinya dalam menjaga keutuhan bangsa dan
negara. Pertama, menurut Gus Dur, NU
mampu menjaga agar tetap lurus dalam memandang kenegaraan sebagai
sebuah bangsa. Terminologi bangsa dalam hal ini adalah kemajemukan,
keberagaman, dan perbedaan yang harus terus dirawat. Karena menurut Gus
Dur, semakin berbeda kita, semakin kita mengetahui titik-titik persatuan
kita sebagai bangsa.
Pandangan negara bangsa (nation state)
yang terus dirawat oleh NU karena ada kecenderungan manusia ketika
menjadi modern menghendaki negara ini salah satu di antara dua: lepas
dari agama sama sekali (menjadi negara sekuler) atau negara dimotivasi
oleh agama seperti gairah mendirikan negara Islam. Tentu paradigma ini
tidak terlepas dari kehidupan bangsa Indonesia yang semakin modern.
Dalam konteks ini, menjadi bangsa Indonesia yang mampu memodernisasi
tradisionalitas dan mentradisionalisasi modernitas menjadi penting
seperti prinsip NU dalam menyikapi perubahan global dengan tetap
berpegang teguh pada: al-muhafadzah alal qadimis sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Kedua,
NU mampu menjaga agama untuk tetap mewarnai kehidupan bangsa dan
negara. Artinya, kehidupan beragama tetap menjadi penopang keharmonisan
bangsa karena agama pada intinya mengajarkan kebaikan. Di titik inilah
masyarakat muslim penting menempatkan Islam sebagai agama publik, yakni
agama yang mampu menjaga harmonisasi interaksi sosial sesama anak
bangsa. Bukan sebaliknya, menempatkan agama di menara gading sehingga
buta akan kebersamaan yang justru bisa diwujudkan oleh sesama penganut
agama dengan dasar muwafaqah atau kesamaan sebagai anak bangsa dari sebuah negara bangsa.***
Penulis adalah Dosen STAINU Jakarta, Anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan.
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/69889/upaya-bangsa-dalam-memperkuat-negara